
Maros – Bayi gagah berusia enam bulan tergeletak lemah di atas kasur tipis. Tubuhnya mungil, namun luka yang harus ia tanggung jauh lebih besar dari usianya. Nafasnya pelan, setiap hembusannya adalah perjuangan. Kanker ganas telah mencengkeram tubuh kecil bayi yang diberi nama El Raja itu, merampas senyum, dan menggantinya dengan rintihan kesakitan.
Di sudut ruangan, ibunya duduk memegang tangannya yang kecil. Matanya sembab, penuh kelelahan dan keputusasaan. Setiap hari, ia menyaksikan buah hatinya berjuang melawan penyakit yang saya yakini orang dewasa pun tak sanggup hadapi.
“Seandainya bisa, saya ingin mengambil rasa sakitnya… biar saya saja yang menanggung semuanya,” lirihnya, mencoba menahan air mata yang terus mengalir.

Semua bermula disaat benjolan serupa gigitan nyamuk muncul di pipinya. Awalnya, dianggap hal biasa, namun lama kelamaan benjolannya kian membesar. Hingga akhirnya, vonis dokter datang seperti petir di siang bolong: kanker ganas.
Ayah El Raja yang sehari-hari bekerja sebagai buruh dengan upah 150 ribu per bulan menatap anaknya dengan kosong. Jangankan berbicara, nafasnya saja tersengal-sengal mendengar vonis tersebut.
Bagi keluarga sederhana ini, diagnosis itu bukan sekadar berita buruk—itu adalah hantaman yang meremukkan hati. Biaya pengobatan yang tinggi, perjalanan ke rumah sakit yang jauh, dan kondisi bayi yang semakin memburuk menjadi beban yang sulit ditanggung.
Setiap kali melihat anaknya terbaring tanpa daya, sang ayah merasa hatinya tercabik.
“Anak sekecil ini, apa salahnya sampai harus menanggung penyakit seberat ini?” katanya dengan suara bergetar.
Namun, di tengah keterbatasan, mereka masih memegang harapan. Setiap hari, ibu dan ayahnya berdoa agar keajaiban datang. Mereka percaya bahwa di luar sana masih banyak orang baik yang mau membantu, bahwa ada harapan untuk kesembuhan buah hati mereka.
Sementara itu, bayi kecil itu tetap bertahan. Meski tubuhnya lemah, jari-jarinya masih berusaha menggenggam tangan ibunya—seolah memberi tanda bahwa ia masih ingin berjuang.